Nakes Joined The Trend: Bolehkah Nakes Ngonten?
Media sosial saat ini adalah alat yang paling powerful untuk menyampaikan pesan-pesan dan menyebarkankan. Bagaimana tidak, Laporan We Are Social menunjukkan, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 167 juta orang pada Januari 2023. Jumlah tersebut setara dengan 60,4% dari populasi di dalam negeri. Artinya, apabila kita menyampaikan pesan melalui sosial media, pesan tersebut berpotensi untuk bisa terjangkau oleh 167 juta orang Indonesia. Apalagi jika diakselerasi dengan adanya fitur bagikan dan penyebaran lintas media, pasti sangat mudah menjadi viral di sini.
Pilihannya ada di kita, sekarang kita ingin viral gara-gara apa? Ingin menyajikan konten yang seperti apa? Apa tujuannya? Siapa yang menjadi sasarannya? Apa dampaknya bagi sasaran kita? Berbagai pertimbangan tadi seharusnya bisa menjadi checklist apakah konten kita layak untuk diunggah atau tidak.
Siapa yang kamu maksud dengan "kita", Nad? Sesuai dengan judulnya, tenaga kesehatan atau bahkan yang masih calon tenaga kesehatan. Jujur aja, banyak sekali aku menemukan konten yang dibuat oleh nakes/calon nakes yang inapropriate bahkan miliknya orang di sekitarku yang aku kenal.
Contoh:
1. Pap foto seorang mahasiswi kebidanan sedang menolong persalinan yang diupload ke status whatsapp. Kenapa tidak layak? Karena checklist prasat pertolongan persalinan yang pertama adalah "menutup sketsel" untuk menjaga privasi klien agar tidak menjadi tontonan orang-orang di tempat tersebut. Ketika nakes mulai membuka kamera, itu sama saja dengan menghianati prinsip privasi klien bahkan membuatnya jadi konsumsi publik. Lain lagi kalau kita minta izin mendokumentasikan untuk dibuat laporan LTA dsb. selama ada persetujuan, go for it.
But if you did that only to feed your narcistic ego, then... Bruh, you're the worst type of person. IMO, orang-orang seperti itu biasanya bangga sekali menjadi nakes yang menurut dia mungkin si paling altruis, pekerjaan mulia, dsb. dan kadang hanya ingin mendapatkan pengakuan dari orang di sekitar bahwa "ohh dia mahasiswa kebidanan loh".
Nggak salah, kok, kalau kita ingin dikenal sebagai mahasiswa kebidanan. Aku juga pengen seperti itu, kok, itu namanya personal branding. Kalau aku, aku mau, media sosialku itu nantinya bisa menjadi portofolioku misalkan aku pernah menginisiasi kegiatan A, kegiatan B, konten edukasi C, lomba D, dll. Aku ingin dikenal sebagai mahasiswa kebidanan yang informatif, sesuai dengan ekspetasi masyarakat ketika aku berani mencantumkan "midwifery student" di bio instagram xixixi. Menurutku itu cara yang lebih elegan karena ada benefit yang bisa kita bagikan untuk orang lain lebih dari sekedar ingin diakui.
2. Video seorang mahasiswi kebidanan sedang merawat luka di kaki yang diupload ke status whatsapp. Ini juga kenapa tidak layak? Karena meskipun hanya kakinya saja pun itu juga termasuk bagian dari privasi klien. Misalkan kamu tidak menemukan kasus ini setiap hari, itu hal yang luar biasa buatmu, dan kamu ingin mengabadikannya untuk pembelajaran bagimu sendiri atau mungkin teman temanmu yg lain tentang cara merawat lukanya, minta lah izin dan jangan disebarkan di medsos, simpan saja buat arsip di galerimu sendiri.
Selain itu juga kita nggak boleh menampilkan gambar yang terlalu graphic dengan luka yang terbuka dan darah segar yang bercucuran karena berpotensi menimbulkan trauma bagi orang yang melihatnya. Maka dari itu, gambar-gambar yang berunsur sadistik nggak bisa ditampilkan di publik.
3. Dulu sempat viral, nakes nyinyirin orang yang belum menikah tapi pengen KB.
Nyinyir pada umumnya itu bahaya banget loh, bikin klien jadi takut terstigma. Apalagi hal sensitif dan private seperti kontrasepsi. Padahal KB juga bisa jadi untuk terapi hormon, loh kalau kita mau meluangkan sedikit waktu untuk bertanya kepada klien. Kalaupun klien itu ternyata memang ingin menggunakan KB untuk mencegah kehamilan pun, what's the problem? Nggak untuk dinyinyirin juga. Malah bagus, dong, dia sudah aware terhadap risiko atas perbuatannya sehingga dia melakukan upaya pencegahan sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Yang membahayakan adalah bagaimana jika ternyata dampak ini meluas ke klien pada umumnya karena mereka berasumsi bahwa nakesnya akan berpikiran seperti itu? Kekhawatiran ini tentunya tidak bisa dihindarkan karena kontennya sudah menyebar ke seluruh medsos.
4. Diskriminasi pasien BPJS
Video di atas berisi tentang perbedaan sikap mas dan mbak di atas dalam menangani pasien BPJS dan pasien umum. Terlihat jelas bahwa pasien BPJS dilayani dengan malas malasan sedangkan pasien umum dilayani dengan full senyum.
Sebagai adek-adek yang masih mahasiswa, aku belum memahami apakah proses dari pengurusan BPJSnya yang membuat mereka merasa direpotkan/dirugikan dengan adanya pasien yang periksa dengan BPJS atau bagaimana entah lah. Menurutku, sah-sah saja kalau kita mau sambat misalkan ke teman sejawat tentang BPJSnya, dll.
Social media comments section is like two sides of coin. Pasti ada yang pro dan ada yang kontra. Kalau YTTA pasti memaklumi alasan di atas. Tapi ketika jokes itu keluar tongkrongan, pasti bakal terkesan membeda-bedakan pasien dan insensitif. Karena interpretasi orang-orang terhadap video tersebut, ya, pasti lah kembali ke "Kok ada perbedaan sikap nakes dalam menangani pasien BPJS dan pasien umum, sih?"
Itu aja misalkan jika intensinya adalah menyindir sistem BPJS yang membuat mereka malas menangani pasien BPJS karena prosesnya yang memang dimulai saat pasien datang. Jadi waktu pasien BPJS datang itu bawaannya sudah susah dulu. Apalagi kalo betulan membeda bedakan pasiennya, jelas-jelas halal untuk dirujak masal menurut netizen.
Oleh karena itu, aku menawarkan 3 solusi, nih. 1. Nakes tidak boleh membuat konten yang berhubungan dengan pekerjaan sebagai nakes kecuali konten yang edukatif.
2. Buat lah peraturan tertulis tentang bermedia sosial, sehingga kalau ada kejadian seperti contoh di atas, kita bisa segera menindaklanjutinya lebih dari sekedar "hanya" klarifikasi yang mungkin pun tidak dimaknai dengan setulus hati.
3. Sebelum dapat STR atau SIM untuk praktik klinik, nakes harus melampirkan syarat sertifikat pendidikan etika bermedia sosial.
Menurutku, peraturan itu bisa memaksa seseorang untuk melakukan hal baik atau menghindari hal buruk. Dalam hal ini, kita boleh memaksa nakes untuk lebih bijak dalam bermedia sosial karena dampak yang ditimbulkan selain ketidaknyamanan dari pasien itu sendiri juga akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Kasarannya gini, "aduh males periksa di sana, petugasnya nyinyir". Bisa bisa nggak jadi berobat terus mencoba mengobati diri sendiri bermodalkan mesin pencarian di internet. Wow, super sekali 👏🏻
Akan tetapi, those solutions are debatable, ya, guys! Feel free to contact me to discuss it! Aku pasti bakal senang untuk dengan opini kalian.
Adiós! See you guys later! 👋🏻
(Capek mikir pantun hehe)
Komentar
Posting Komentar