Kesunyian Sejenak Bukan Berarti Diam—Kadang, Itu Tanda Badai Besar Akan Datang
Lulusan terbaik, tapi kok kaya kerupuk kemarin sore? 🤔
Halo! Kenalin, aku Nadya. Lulusan terbaik dua kali berturut-turut, IPK setinggi harapan orang tua, aktif organisasi, hobi ikut lomba, punya banyak project, senang meneliti, menulis, dan berbagi ilmu secara cuma-cuma. Tapi setelah aku lulus, orang-orang bilang aku melempem kaya kerupuk kemarin sore. Hahaha, to be honest, aku nggak kaget 😋
Kenapa dibilang melempem? Mungkin karena aku nggak cepat dapat kerja. Hal ini jadi semakin memperkuat anggapan orang kalau yang pintar secara akademik belum tentu pintar kerja.
Padahal, kalau aku mau menyingkirkan idealismeku, gampang banget cari kerja. Bisa jadi asisten bidan di TPMB, merantau ke luar kota, atau ikut pelatihan mom and baby spa dan langsung wirausaha. Tapi that’s not me.
Hampir setiap hari, aku dengar saran seperti:
❓️“Kenapa nggak coba ngelamar di dealer?”
❓️“Kenapa nggak buka baby spa?”
❓️“Kenapa nggak buka praktik sendiri?”
Kalau yang bertanya itu orang penting di hidupku, aku bakal jelasin panjang lebar. Tapi kalau bukan? “Iya, doakan ya, semoga lancar.”
Aku paham, apa yang mereka katakan itu hanya berdasarkan pengetahuan dan pengamatan mereka terhadap hal-hal di sekitar. Mungkin mereka lihat banyak bidan belajar dulu jadi asisten bidan, lalu sukses buka praktik mandiri atau buka usaha sendiri. Mungkin mereka pikir lebih baik aku kerja “yang ada dulu” daripada nunggu yang aku mau. Sangat dimaklumi karena orang yang sayang sama kita cenderung ingin ngasih saran karena ingin kita jadi versi terbaik di diri kita. Semua saran itu baik, tapi nggak semua yang baik itu cocok buat kita.
Aku ibarat kepingan puzzle yang bisa dipaksa masuk ke sebuah gambar, tapi tetap nggak membentuk sesuatu yang seharusnya. Aku bisa melakukannya, tapi aku nggak bisa menjalaninya dengan bahagia.
Nggak semua orang ditakdirkan menjadi wirausahawan 💸
Nggak semua orang speknya cocok buat bisnis. Ada yang lebih nyaman jadi profesional, akademisi, atau birokrat. Aku termasuk yang seperti itu.
Sejak kecil sampai kuliah, mindset dan skill set-ku terbentuk ke arah profesional dan akademik. Bukan wirausaha. Menjalani sesuatu yang bukan kita itu melelahkan.
Beda kalau kita menjalani sesuatu yang “kita banget.” Capek? Pasti. Tapi tetap bangga dan puas. Karena saat kita melakukan yang kita suka, kita pasti ngasih usaha yang terbaik dan lebih mungkin untuk mendapatkan hasil yang baik serta jadi yang terbaik di bidang itu.
Di sinilah fungsi idealisme:
✅ Menjaga kita tetap di jalur yang sesuai dengan hati
✅ Menghindari stres karena merasa “bukan diri sendiri”
✅ Membantu kita berkembang maksimal di bidang yang kita cintai
Aku hampir terjebak untuk menjalani mimpi orang lain 🚨
Waktu aku masih mencari arah, Utiku mau biayain aku kursus kesehatan komplementer. Pelatihnya selalu ngomporin soal wirausaha, katanya "bisnis itu enak, duitnya banyak."
Sampai pada waktu itu, aku yang sebelumnya tidak punya mimpi ini jadi lumayan berani bermimpi. Aku hitung-hitung, misal 1 pasien akupuntur = Rp100.000. Kalau buka praktik 8 jam sehari, aku bisa dapet Rp1.600.000 per hari.
Apalagi, katanya usahaku pasti laris karena Uti yang seorang pemuka agama ini punya banyak jamaah. Bahkan, pelatihku bersedia untuk bekerja sama dengan membiayai semua modalnya. Aku sampai sudah bikin logo, bangun media sosial, menyusun rencana keuangan, bahkan membeli beberapa bahan dan peralatan.
Tapi, aku sadar... ini bukan mimpi aku. Aku harus berhenti.
Pelatih yang katanya sudah menganggapku “keluarga” ternyata punya kepentingan lain. Dia mau aku buka franchise usahanya, biar dia tetap dapat profit dari aku. Padahal dari pelatihan itu, aku belajar hal yang nggak aplikatif dan masih harus mempelajari banyak hal secara mandiri. Selama di sana, aku malah sering disuruh beli obat, beli makanan, bungkus obat herbal, dan ngantar barang kayak pekerja gratisan.
Aku pernah ikut kegiatan bakti sosial yang diadakan oleh pelatihku. Di sana, aku membantu melakukan totok wajah, dan kebetulan ada seseorang yang meminta nomor teleponku. Keesokan paginya, istri pelatihku—yang terkenal sangat perhitungan—menyampaikan sesuatu yang intinya, “Rezeki itu sudah ada yang ngatur, jadi kita nggak boleh ngambil pelanggan orang.” dengan nada petantang-petenteng dan gaya dagu mendongak khas bos-bos OKB.
Little did she know, nomor yang aku berikan itu sebenarnya nomor klinik mereka, bukan punyaku sendiri. Karena aku berpikir, kegiatan ini adalah media promosi klinik dan bukan perorangan. Jadi, kalau ada yang minta nomor, seharusnya dikasih nomor klinik, kan?
Ironisnya, jamaah Uti yang seharusnya jadi pasarku juga malah mereka targetkan dengan cara membagikan buku doa gratis yang di bagian belakangnya diselipkan sponsor klinik mereka. Jadi... ya. Aku nggak bisa jadi orang seperti itu, dan jujur, aku takut suatu hari berubah menjadi seseorang yang seperti itu.
Akhirnya, aku tegaskan bahwa aku tidak ingin menjadi wirausahawan—aku ingin bekerja sebagai bidan praktisi di rumah sakit. Pertama, karena aku tidak mau menjalani mimpi orang lain. Kedua, aku tidak ingin terjebak dalam persaingan atau dianggap ancaman bagi orang lain. Selain itu, aku juga sadar bahwa jika aku mencari makan dengan berwirausaha di bidang komplementer, mereka akan selalu merasa berjasa atas setiap pencapaianku di masa depan karena mereka merasa bahwa mereka lah yang memberikan alat pancing. Padahal sebenarnya pengetahuan dan keterampilan itu aku kembangkan sendiri dari berbagai sumber.
Tapi lagi-lagi, orang-orang mengerdilkan mimpiku:
🗣 “Peluang kerja di RS kecil, Nad!”
🗣 “Gajinya dikit, paling umur 55 tahun udah pensiun.”
🗣 “Mau ngapain setelah pensiun?”
Intinya apapun yang mereka katakan, sangat terasa bahwa mereka hanya nggak ingin kehilangan profit dari aku. Tapi aku tetap teguh. Karena aku sadar, ini bukan mimpiku.
(Aku sempat bercanda: “Nggak apa-apa, nanti aku cari suami yang kaya raya.” Hahaha.)
Ternyata mimpiku adalah menjadi seorang bidan peneliti 👩🏻🔬🔍📑
Banyak yang nggak tahu soal ini, mungkin karena nggak umum dan nggak terlihat—kecuali kalau mereka cari namaku di internet atau kebetulan baca diktat perkuliahan kebidanan (widih). Haha, tapi aku juga baru benar-benar menemukan tujuan ini, sih.
Kalau dipikir-pikir, kecerdasanku lebih dominan di linguistik dan logis-matematis. Sementara, kebanyakan bidan lebih kuat di interpersonal dan kinestetik—dan itu wajar, karena dua hal itu memang paling diasah di dunia kebidanan. Jadi, selama kuliah aku merasa perlu mencari ruang untuk tetap berkembang tanpa kehilangan jati diri. Aku ikut lomba debat, speech, iklan layanan masyarakat, video promosi kesehatan, poster edukasi, factsheet, dan karya ilmiah. Awalnya iseng aja, sekadar pelarian. Tapi sejak tahun ke-2, aku mulai sering menang dan akhirnya mulai dikenal dosen dan dapat tawaran project pengabdian masyarakat, jadi pembicara, moderator acara kampus skala internasional, enumerator, sampai mempublikasikan artikel ilmiah.
Dan... saat kau ragu arah tuju, di situ lah kau mulai terbawa arus~
Dulu aku sangat bersinar. Tapi, setelah lulus, malah timbul pertanyaan:
Apakah semua itu berguna? Apakah relevan dengan pekerjaan sebagai praktisi seperti yang aku inginkan?
Beberapa orang bilang, skill-set seperti ini lebih cocok untuk akademisi. Tapi aku nggak ingin jadi dosen (kamu nggak bosan dengar kebimbanganku, kan? 😆).
Menurutku, semua ini tetap berguna. Setiap tenaga kesehatan pasti butuh keterampilan komunikasi, baik lisan maupun tulisan—mulai dari pre dan post conference, handover, dokumentasi medis, edukasi pasien, sampai ke level yang lebih kompleks seperti ronde, laporan indikator RS, evaluasi kinerja, audit kesehatan, hingga publikasi ilmiah.
Nah, yang terakhir ini. Entah kenapa aku baru kepikiran... kenapa nggak jadi bidan praktisi sambil bikin penelitian kecil-kecilan? Akhirnya aku mulai cari tahu lebih dalam dan lahirlah rumusan life mapping sederhanaku:
📌 Tahun 1–5: Bekerja di RS → ikut pelatihan seperti PPGDON/KKMN/BONELS, CTU, MU, dll. Sambil menulis dan mempublikasikan case report dari pengalaman klinis.
📌 Setelah pengalaman dan skill-ku lebih matang, aku mau lanjut S2 Global Health Science & Epidemiology di Oxford dengan beasiswa. (Aamiin! 🙌)
📌 Setelahnya? Tergantung peluang! Bisa jadi full-time researcher atau tetap bidan praktisi.
Yang jelas, apa pun jalannya nanti, aku akan berusaha jadi yang terbaik di bidang itu.
Jangan memaksakan diri menjadi “kue yang salah” 🍰
Menurutku, memilih karir itu seperti membuat kue. Bayangkan kita mau bikin kue tart. Semua bahan sudah siap—tepung, telur, buttercream—pokoknya sesuai resep. Tapi tiba-tiba ada yang datang dan bilang, "Kamu harus bikin kue kering, soalnya sebentar lagi Lebaran!"
Sama seperti aku yang sejak awal sudah dilengkapi dengan kemampuan dan pengalaman sebagai profesional dan akademisi. Tiba-tiba ada yang bilang, "Kamu harus jadi wirausahawan, peluangnya lebih besar!"
Bro, it's a waste of potential.
Kesimpulannya? Jangan sampai kita menjalani mimpi orang lain dan mengorbankan idealisme demi sesuatu yang belum tentu sepadan. Benar kata orang, "Membiarkan orang lain salah paham tentang kita itu nggak apa-apa." Karena menjelaskan diri kita dan mimpi-mimpi kita ke orang yang berpikir dunia hanya sebatas apa yang ada di kepala mereka itu sia-sia.
Yang harus kita lakukan? Fokus. Jalani rencana yang sudah kita bangun. Trust the process. And rock the world of our expertise! 🚀🔥
Komentar
Posting Komentar