Aku Takut Salah
Hai, jumpa lagi!
Wah, wah.. ternyata sudah lama, ya, aku menghilang. Pantas saja perasaanku jadi nggak karu-karuan. Sedikit cerita untuk merangkum semua yang sudah terjadi, di sepanjang tahun 2023 ini, aku berinteraksi dengan banyak orang yang baru aku kenal, benar benar asing. Mulai dari kenalan di tempat penelitian untuk skripsi, kenalan di tempat PKL, dan kenalan dari kegiatan lainnya seperti lomba dan saat jadi pembicara/pemandu acara.
Beberapa di antara orang yang baru aku kenal, ada yang match my energy, ada yang so-so lah, ada yang bikin aku merasa kurang nyaman. Berkat perjalanan di tahun 2023 ini, aku jadi bisa mengenal diriku lebih dalam lagi. Kalau kamu, bagaimana? Coba deh, kamu refleksi dan uraikan satu per satu. Aku duluan, ya?
Di tahun 2023, aku jadi tahu kalau ohh, ternyata:
1. Aku orangnya ramah, tapi punya baterai sosial yang cepat habis
2. Aku orangnya kuat, tapi cenderung mengalah dengan orang lain
3. Aku orangnya suka berpikir, tapi sering takut bikin salah
4. Aku orangnya tegas, tapi nggak enakan
5. Aku orangnya berani, tapi masih kalah dengan rasa kasihan
6. Aku orangnya suka mempelajari hal baru, tapi aku benci perubahan dan beradaptasi
Dari ke-enam hal di atas, hal yang paling susah untuk aku kendalikan adalah yang nomor 3. Menurutku, nomor 3 itu jadi yang paling sulit karena apa yang aku lawan adalah ego dan idealismeku sendiri. Ketakutanku sendiri. Apa yang terjadi di pikiranku sendiri. Selain itu, yang nomer 3 ini paling destruktif karena bisa membuat aku mensabotase diri sendiri dengan menahan aku untuk melakukan apapun. Maka dari itu, sebelum catatan di tahun 2023 aku tutup, aku ingin menguraikan sifat itu dan mengolahnya menjadi perasaan yang positif sehingga aku bisa menjalani tahun berikutnya dengan perasaan yang lebih damai. Biar apa? Biar biuuur.. Oh, tidaak! Tentunya biar lebih siap dan lebih tatag menghadapi tantangan baru di tahun 2024 🫵🏻😠
Tahu, nggak, ternyata fenomena takut berbuat kesalahan itu bukan hal yang langka. Banyak orang takut berbuat kesalahan, nama kerennya fear of making mistake (FOMM). Setiap orang memang memiliki ketakutannya masing-masing. Ada yang takut ketinggian, ada yang takut kehilangan orang tersayang, ada yang takut hari Senin, macam-macamnya manusia, lah, pokoknya. Dan setiap ketakutan itu pasti ada penyebab atau pemicunya.
Kalau menurut analisis pribadiku terhadap "ketakutan berbuat kesalahan" yang aku alami ini, mungkin disebabkan oleh sifatku yang idealis dan perfeksionis. Kedua sifat tersebut memang bisa menguntungkan, sih. Tapi, yang jadi masalah itu ketika aku menjadi punya standar berhasil atau tidak berhasil versi aku sendiri (kadang terlalu tinggi) untuk diterapkan ke diri sendiri. Akibatnya, aku jadi kurang toleransi kepada diriku yang masih belajar.
Kalau dari faktor eksternal, mungkin karena orang-orang sudah menetapkan penilaian terhadap aku misalkan "oh anak Poltekkes pasti...", atau "wih, lulusan terbaik nih, pasti..." Nah, hal-hal seperti itu yang membuat aku akhirnya mendorong diriku sendiri untuk terus memberikan yang terbaik. Padahal, sebaik-baiknya juga namanya belajar. Padahal, sepinter-pinternya juga perlu belajar. Belajar juga perlu salah. Dan belajar yang terbaik adalah belajar yang dari kesalahan. Iya, kan?
Sebetulnya belajar itu banyak sumbernya, bisa mendengar, membaca, mempraktikkan, dan bisa juga dari eksperimen-eksperimen yang kita lakukan untuk mencari jawaban/cara yang paling tepat. Tapi, kurasa belajar yang paling ampuh adalah yang sumbernya dari trial and error kita sendiri karena kita jadi tahu apa yang harus dilakukan, mengapa hal tersebut harus dilakukan, dan apa yang terjadi jika hal tersebut tidak dilakukan. Jadi, alih-alih memfokuskan diri pada hasil akhir, kita bisa lebih berfokus pada proses.
Dan untuk faktor eksternal tadi, kembali lagi ke pertanyaan, "apakah ini di dalam kendali saya?". Tentu saja nggak, kan? Karena pada dasarnya setiap manusia pasti dekat dengan sebuah stereotipe atau stigma karena setiap manusia memiliki identitas berasal dari sebuah kelompok, berasal dari sebuah institusi, dan berasal dari sebuah kelas sosial. Setidaknya itu lah yang dijadikan penilaian awal seseorang sebelum benar-benar mengenal kita. Karena kita tidak bisa mengendalikannya, maka cukupkan bagi kita untuk menarik napas dalam-dalam dan menanamkan dalam diri bahwa "ini hanya sementara".
Toh, pandangan manusia itu memang parsial mengenai orang lain. Itu hal yang normal. Manusia juga beranggapan berdasarkan apa yang didengarnya, kemudian apa yang dilihatnya. Pasti akan ada masanya di saat kita berkesempatan memperlihatkan usaha kita selama ini. Manusia itu makhluk yang dinamis, kok. Mudah saja bagi Tuhan membolak-balikkan hatinya. Pasti pada akhirnya, kita akan dihargai juga kalau sejak awal kita memberi kesempatan pada diri sendiri untuk mencoba dan salah. Mencoba dan gagal. Mencoba dan kemudian pada akhirnya menemukan kebenaran.
Nah, tapi memang kenyataannya tidak semudah itu. Sebelum aku berhasil fokus pada proses, aku sempat mengalami beberapa gejala seperti kecemasan yang berlebihan, sulit tidur, dan jadi sering sakit. Aku akui, kalau aku juga sempat meminta rekomendasi tempat periksa kejiwaan seperti psikolog/psikiater kepada beberapa teman.
Selain memberikan rekomendasi psikolog/psikiater, ada satu, nihh, temanku, sister Jelen yang memberi sedikit tips untuk mengurangi beban pikiran, yaitu dengan menulis jurnal. Dalam hati, "Sial! Sudah lama aku meninggalkan kebiasaan itu." Pantas saja.
Akhirnya aku mulai menulis lagi. Menguraikan untaian benang yang kusut di kepala menjadi sebuah tenunan kain yang lebih bermanfaat. Di jurnal itu, aku tuliskan my small winning. Kalau kata orang, "sederhana, tapi bisa bikin kamu menghargai prosesmu." Misalnya, "hari ini aku sudah berhasil memandu senam hamil, aku sudah mulai luwes dan hapal dengan gerakannya. Hanya saja, akan lebih bagus lagi jika besok aku mencoba untuk lebih fokus untuk mengoreksi gerakan audience perindividu supaya mereka bisa mencoba senam sendiri di rumah."
Begitu, deh. To sum up, be gentle to the parts of you that are still learning. Ciao! 🥰
Komentar
Posting Komentar