My Stages of Grief
Kubler-Ross was wrong, it's not denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. It was hurt, hurt, hurt, hurt, and hurt.
Coba bayangkan, kalian lagi merantau, jauh dari rumah. Hari itu, kalian bangun dan mengerjakan aktivitas seperti biasa, kebetulan aktivitasku waktu itu lagi magang dan lagi bersih-bersih tempat magang. Jumat, 23 September 2022, hampir satu tahun setelah telepon itu di dini hari. "Kak, Baba sudah pulang."
It was hurt, yang aku tahu, Babaku yang sehat. Yang aku ingat, Babaku yang suka bercanda. Tentu nggak sampai akalku untuk membayangkan skenario yang terjadi di rumah. Klise mungkin, tapi ketika jarang pulang dan sekalinya pulang sudah ada bendera putih...
I didn't cry, tho. My skeptical way of thinking makes me keep unbelieving until I get the burden of proof. Dan iya, beliau terlihat tampan, tapi sudah dingin dan kaku, menunggu kami anak-anak gadisnya sebelum akhirnya dikuburkan. One last kiss, and goodbye. Kenapa waktu itu aku nggak cium tiga kali, ya? Biasanya, kan, 3 kali. Padahal aku nggak nangis waktu itu.
Kuat? No! This is my speechless lacrimal gland would looks like. Sehari, dua hari, masih belum percaya. Sampai akhirnya aku harus kembali ke tempat magang dua hari setelah kepulangan Baba pun masih harus "monggo, ibu, sinten niki sing badhe perikso?" ☺️
Aku harus kuat, aku harus menunjukkan ke semua orang kalau aku bukan anak yang lemah dan cengeng, show must go on. Bisa, yok, conceal it, don't feel it.
Uhh, itu rasanya sakit. Sampai hari ini pun aku merasa Baba masih ada. Everything you lose comes around in another form. Aku yang jarang pulang masih merasa Baba ada di meja makan. Masih merasa beliau mengawasi dari dapur saat aku belajar dandan.
Tapi, waktu aku chat, kok, nggak dibalas? Tumben. Aku ngabarin kalau akhirnya aku sempro, kok, nggak ada respon? Aku kirim file skripsi yang mau Baba koreksi, kok, nggak ada feedback? Ihh, jangan-jangan nanti aku ajak ikut wisuda, Baba nggak ikut.
Iya, fase denialku lama sekali, ya?
Eh, tunggu dulu. Tapi, kan, kematian itu, kan, hal biasa. Setiap hari ada orang yang meninggal. Memang pada dasarnya, kan, waktu kematian itu seperti kita diabsen dengan guru kita dulu sebelum ujian, sudah ada urutannya berdasarkan format yang sudah ditentukan. Entah itu alphabetic, random, atau apa lah. Bedanya hanya kita nggak dikasih tahu urutannya dan kapan dipanggilnya. Semua orang akan dipanggil pada waktunya, kok, kita hanya menunggu kapan nama kita akan dipanggil. Dan ketika nama kita dipanggil, mau nggak mau, siap nggak siap, kita kudu maju memenuhi panggilan itu.
Iya, kan?
Suatu saat, adik sepupuku yang masih berusia 3 tahun bilang, "Kakak Dya, kasihan, ya, Kung sama Baba" dengan wajahnya yang polos itu.
Aku tanya, "kenapa, kok, kasihan?"
Dia jawab dengan ragu-ragu, "karena sudah meninggal."🥺
Ohh, jadi itu yang dia pikirkan... Aduhhh, gemoy banget pikirannya polos banget, wajahnya aaaak. Jadi, aku sampaikan dengan bahasa yang seee-halus mungkin, "Oh, jadi karena itu. Menurutnya Ammar, Kung sama Baba itu orang baik, bukan?" Dia ngangguk.
"Nah, orang yang dulu waktu hidupnya jadi orang baik, setelah meninggal, mereka tidur aja di kuburan. Jadi, Kung sama Baba sekarang sudah enak, tinggal tidur aja. Ndak butuh makan, ndak harus kerja, ndak harus belajar...
Tapi sekali-sekali juga bisa pulang buat lihat Ammar, lihat Kakak Dya juga. Justru yang masih hidup ini yang harus berusaha, ya, kan? Kakak Dya harus sekolah, Bu Dhe harus kerja, Ammar harus mandi sama makan disuruh mama. Iya kan?"
Entah dia bakalan mengerti atau nggak, aku nggak tahu. Tapi, waktu itu seolah-olah anak kecil dalam diriku juga ikut mengangguk. Aku baru aja menyadarkan diri sendiri.
Selama ini, aku selalu larut dalam perasaanku sendiri sampai aku melupakan aktor lain yang seharusnya paling merasa sedih atas kejadian ini, Mamak. Mamak menemani mulai dari Baba sehat sampai merawat saat kondisinya perlahan memburuk, Mamak menyaksikan itu semua until she lose the love of her life. Her best friend, her human diary, and her team mate dalam membesarkan kami. I'm sorry, Mak. You we're so tough.
Aku jadi ingat sebuah kutipan di buku Cacing dan Kotoran Kesayangannya karya Ajahn Brahm, "Siapa yang paling penting? Orang yang saat ini bersamamu. Waktu apa yang paling penting? Sekarang." Jadi, aku langsung skip my stage of grief from denial to bargaining. Iya, sekarang yang paling penting adalah Mamak dan keluarga lain yang masih butuh makan, butuh kuliah, dan butuh dibahagiakan. Karena untuk Baba, aku hanya perlu hidup dengan baik dan rajin-rajin mengirimkan doa.
Aku rasa, nggak semua orang juga mengalami anger dan nggak semua orang jadi depresi. Kalau semua orang denial itu sudah pasti. Tapi, percaya atau nggak, nggak akan ada orang yang benar-benar sampai pada acceptance. Which means, semua orang akan selalu berduka setelah dia kehilangan seseorang yang berarti baginya. Atau malah, aku memang belum mulai? Kan, selama ini aku belum memberi kesempatan untuk diriku berduka? Aku hanya menumpuk kesedihan dengan kesibukan dan kesedihan lainnya.
Meskipun kelihatannya biasa saja, aku masih nangis. Hari ini aja aku menangis saat menulis artikel ini. Nggak bisa dipungkiri, aku masih punya bayangan di masa depan saat aku diantarkan wisuda sama Baba naik mobil rame-rame sama keluarga lainnya. Aku juga masih pengen kalau menikah nanti Baba yang jadi walinya. Masih pengen.
Sering sekali momen-momen kritikal di hidupku aku isi dengan, "andai ada Baba". Hehehe.
Semua orang yang mengalami hal serupa sepertinya juga begini. Meskipun nggak selalu ditunjukkan, tapi dari hati yang paling dalam, kita ingin. Bahkan kadang, kita bisa menangis dengan trigger tertentu and it's normal. Apalagi kalau kita kehilangan orang yang sangat amat kita cintai, kita punya banyak kenangan yang manis, dan dia masuk ke rencana kita di masa depan. Jadi, kalau dia tidak ada, hidup pasti berbalik 180°.
Kalau sekarang...
Ya sudah, lah. I believe that everything we lose comes around in another form. Aku hanya perlu hidup dengan baik because he's watching and blow a kiss from a distance saying, "that's my girl!"
Komentar
Posting Komentar