Network: Privilege yang Bisa Dibangun

Beberapa hari yang lalu, dunia per-twitter-an sempat diramaikan oleh sebuah cuitan warganet yang menyampaikan keresahannya tentang network

Tapi...
Siapa yang nggak resah, sih? Rasanya skill yang kita punya, kok, nggak akan berkembang dan stuck di situ-situ aja, ya, tanpa adanya dukungan dari *ehem* orang dalam, eh, network?

Di artikel ini, aku bakal membahas segalanya tentang network dalam perspektifku pribadi sebagai mahasiswa kebidanan. So, it is acceptable to be disagree and I'll be open for discussion.

Topik kali ini mengingatkanku pada sebuah buku bagus yang pernah aku baca dan sering aku rekomendasikan ke teman-teman yang baru mau mulai baca. Di twitter, di real life, hampir semuanya aku beri rekomendasi untuk baca buku ini. Buku tersebut berjudul You Do You karya Fellexandro Ruby. 

Pertama kali aku iseng buka buku ini di toko buku, aku langsung mendarat di bab 2. Hanya perlu membaca sebaris dari buku ini untuk memutuskan membeli, padahal aku orangnya sangat selektif untuk membeli buku xixixi, (re: hemat). Baris itu bunyinya seperti ini, "Dalam eksperimen, gagal adalah bagian dari hasil". Otakku yang mungil dan capek gagal terus ini langsung tersentil, "Oh iya, benar. At least aku tahu mana yang seharusnya tidak aku lakukan". 

Semakin aku baca, semakin aku jatuh cinta sama buku ini. Saat baca You Do You, aku merasa seperti lagi ngobrol sama penulisnya, Mas Ruby. Bahasanya ringan, gaul, seperti bahasa kawula muda pada umumnya yang santai dan pakai sapaan lo-gue. Bagian yang paling aku suka adalah Mas Ruby sering mengaitkan gagasannya dengan pengalaman yang beliau punya, jadi kita lebih bisa mendapat gambaran tentang isi bukunya. Dan entah kenapa, buku ini seperti menepis keraguan-keraguan yang aku punya sebagai manusia usia 20-an. Bahkan kalau kita buka buku ini secara acak pun kita tetap bisa relate dengan isinya. 

Dalam salah satu sub bab, Mas Ruby menyebutkan bahwa ada 3 net worth yang perlu kita punya dalam berkarir, yaitu: skill, influence, and health. 

Fenomena network itu sangad amad erad kaitannya dengan yang namanya influence atau reputasi. Konsep influence sebagai the new net worth ini menjelaskan betapa pentingnya bagi kita untuk memperkenalkan diri kepada lingkungan yang lebih luas. 

Iya, memperkenalkan diri. Siapa kamu? Project apa aja yang sudah kamu hasilkan? Skill apa aja yang kamu miliki? Intinya sampai kalo orang misalnya ingat bidan, itu yang terlintas pertama kali di pikiran mereka adalah kamu. Orang yang punya influence bagus itu sulit banget buat dilupain, sukanya nangkring di pikiran kita bahkan tanpa kita coba mengingat ingat, ya, kan?

Contohnya gini, pernah nggak, kamu dengar obrolan ibu-ibu hamil, "Bu Joko! Eh, Bu. Ihh, sini dulu, sombong amat, sih. Ini, mau nanya sebentar doang. Kemarin Bu Joko lahirannya dimana?" 

Misalnya Bu Joko jawab gini, nih, ya, "Eh, Bu Sugeng. Kemarin saya lahiran di Bidan A, kata Bu Bambang disana lahirannya nyaman. Terus saya kesana aja, eh ternyata beneran nyaman. Saya loh ngedennya palingan cuma 5-10 menitan. Lain lagi kalo di Bidan B, saya dulu pernah lahiran, masyaaAllah dijahit luar dalam, serem. Pokoknya saya cuma cocok sama Bidan A, habis ini saya juga mau pasang IUD disana".

Terbayang, kan? Itu namanya influence.

Nah, hubungannya dengan network adalah: networking memberi karyamu kendaraan untuk dikenal oleh lingkup yang lebih luas. Seperti Bidan A tadi, dia sudah dikenal oleh Bu Joko dan Bu Bambang sebagai penolong persalinan yang andal. Kemudian network yang Bidan A punya dengan Bu Joko dan Bu Bambang tadi memberikan kesempatan bagi keahliannya Bidan A untuk dikenal oleh lingkup yang lebih luas, yakni Bu Sugeng. 

Sebetulnya, Bidan C, D, dan E pasti tidak kalah kompeten dengan Bidan A, toh mereka dulunya teman satu kampus. Skillnya sama, kan pendidikannya sama. Tapi apa yang membedakan Bidan A dengan yang lainnya? Influence. Jadi, dari sini memang seolah-olah Bidan A memiliki privilege. Simpelnya, karena Bidan A lebih terkenal. Padahal influencenya terhadap Bu Joko dkk sehingga membuatnya terkenal adalah sesuatu yang telah dia bangun dengan susah payahnya.

Be a damn skilled person until it's hard to forget you, perbanyak kenalan biar karya kita nggak stuck di situ-situ aja, dan di dunia tipu-tipu ini, kita kudu pandai yang namanya ✨Personal branding✨. Kalau kata Mas Ruby, personal branding adalah megafon untuk menceritakan karya. Orang akan tertarik dengan cerita yang relate dan ngena di mereka, dan pada akhirnya, kesempatan akan datang seiring dengan kesiapan kita. 

Personal branding itu beda dengan pencitraan. Personal branding itu adalah bagaimana cara kita membuat our best part menjadi terhighlight dengan baik dan tidak ada kesenjangan antara image yang kita bangun dengan skill yang kita punya. Membangun personal branding itu bukan flexing atau sombong mentang-mentang bisa A, bisa B, bisa C. Bukan, tapi gimana ceritanya orang bisa menyadari bahwa "ohh, ternyata Nadya itu bisa mahasiswa kebidanan, loh. Nanti kalo aku mau tanya-tanya tentang kespro ke Nadya aja ahh". 

Sedangkan pencitraan itu seperti tong kosong nyaring bunyinya. Percuma, kan, jadi keponakannya manajer tapi nggak punya skill, booo! Kalo kita punya network + skill yang menunjang, mantab! Tapi jika kita nggak punya skill, network mungkin bisa menyelamatkan kita di awal, tapi nggak akan bisa membuat kita bertahan. 

Pertanyaan selanjutnya: Networking itu privilege yang hanya dimiliki kaum ekstrovert. Bagaimana jika aku seorang introvert yang nggak suka networking because I easily drained among people?

First of all, network is not a privilege for being extroverts. Network as a privilege is just a frame to excuse you to not networking. And even if indeed, networking is a privilege, it's a buildable one. Don't worry.

Jadi...
Ayok, dari sekarang kita beranikan diri untuk mempertajam skill, memperluas relasi di lingkungan yang baik, dan mempergunakan media sosial untuk personal branding yang baik. 

Second, introverts are differ from antisocials, honey. I believe that either introvert or ekstrovert can make great influence regardless their personality type. Karena introvert bisa ngobrol juga kalau ada konteksnya dan ekstrovert pun bisa jadi sangat mengganggu ketika dia terlalu berisik. Pinter-pinternya kita mengendalikan diri dan membaca situasi aja.

Yeah, I think that's all from me, ciao!!!
See you kapan-kapan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Stages of Grief

Aku Takut Salah

Pengalaman Menolong Persalinan Sungsang (Part 1)