Pengalaman Menolong Persalinan Sungsang (Part 1)


¡Hola! Cómo estas? Semoga saja estoy bien. Karena hari ini aku pengen ngajak kalian flash back ke kejadian 6 bulan yang lalu. Iya, aku gagal move on! Habisnya pengalaman ini langka banget, sih. Semua mahasiswa bidan belum tentu pernah menangani kasus ini, bahkan dosen pembimbing juga bilang kalau aku ini termasuk orang yang beruntung ✨

Tapi seperti biasa, apa artinya beruntung kalau sendirian? Pengalaman seperti ini harus dibagikan ke orang lain supaya semuanya juga bisa merasakannya meskipun hanya lewat tulisan. 

Tarik napas dulu, yuk! Karena suasana siang ini bakal sangat intens dan menegangkan. Sudah siap? Okay, mari kita mulai! 

PERTOLONGAN PERSALINAN SUNGSANG

Waktu itu aku sedang menempuh praktik klinik stase kegawatdaruratan maternal dan neonatal di sebuah rumah sakit umum daerah, tepatnya di ruang VK (kamar bersalin). Kelompok mahasiswa dibagi sedemikian rupa sehingga di satu ruangan itu hanya ada 3 mahasiswa, dibagi lagi ke dalam 2 shift. Jadi, ada kalanya aku jaga berdua dengan temanku, ada kalanya aku jaga sendirian.

Di siang hari pukul 14.00 WIB, pergantian shift. Kebetulan hari itu aku satu-satunya mahasiswa yang jaga di VK ditemani ibu-ibu bidan yang kerja di sana. Aku menerima operan (informasi dari mahasiswa yang jaga di shift sebelum aku) bahwa "px di bed 10 itu PPROM, yang di bed 8 itu CPD. Yang CPD aku ambil kasusnya, ya!". 

Okay! Beres, semuanya SC, kok! Hahaha. Paling nanti cuma observasi TTV dan DJJ, skin test, persiapan SC, antar px ke OK, selesai, deh!

Pikirku...

Lagian, kasus CPDnya sudah diambil, berarti yang tersisa buatku cuma yang PPROM. Tapi, kan, PPROM itu kasus sejuta umat? Toh biasanya kalau di TPMB, px PPROM dengan kemajuan persalinan yang baik tetap bisa melahirkan secara spontan, kok. Okay, berarti hari ini aku nggak perlu repot-repot anamnesis etc. karena belum ada kasus yang menarik buat aku jadikan laporan. Santaaai.

Pikirku...

Tapi, ahh. Kok, jadinya aku bosan, ya? Akhirnya aku yang keterampilannya masih sedikit dalam pemeriksaan leopold ini pun minta izin ke ibu bidan jaga untuk latihan pemeriksaan leopold sekaligus observasi DJJ. Bayangkan aja, meskipun sudah semester 7 pada waktu itu, aku baru punya pengalaman praktik klinik selama sebulan di TPMB, itu pun nggak banyak ANC dan INCnya. Jadi, aku akui aku belum mahir pemeriksaan leopold.

Px di bed 8, ya, seperti px CPD pada umumnya. T/H/I, letkep, puki. Belum masuk PAP.

Tapi, px di bed 10 aneh!

Pukul 15.45 WIB

Leopold 1: TFU 2 jari di bawah prosesus xifoideus, fundus teraba (agak) keras, (agak bulat).

Dalam hati, "Wah, ini bokong atau kepala, ya?"

Tapi, nanti dulu, deh. Leopold 2: sebelah kiri teraba datar, keras, memanjang seperti papan.

Leopold 3: Perut bagian bawah teraba (agak) keras, (agak) bulat, tidak melenting. 

Dalam hati, "anjir, gimana cara bedain mana bokong, mana kepala?"

Mari kita lanjut saja, yaa. Selesaikan dulu leopoldnya. Leopold 4: tanganku divergen, artinya sudah masuk PAP.

TFU McDonald = 30 cm
TBJ                    = (30-11) x 155
                           = 2,945 gram

Okay, nggak besar besar amat lah, ya. Aman. Eh, nggak aman. Tinggal satu pemeriksaan lagi untuk memastikan. Apa itu, pemirsa? Iya, DJJ! Tapi ini bukan tentang denyutnya.

DJJ dalam batas normal, kok. 140 x/menit reguler. Tapi, kok, LOKASINYA DI ATAS?! Berarti leopold 1 tadi memang kepala, dong, ya?

Ditambah lagi, px bilang, beliau merasa kencang-kencang sampai sesak dan sakit ulu hatinya, lebih sakit rasanya dari persalinan sebelumnya. Beliau minta dilepas saja selang kateternya. Tentunya dengan intonasi yang tinggi. 

Gaswat, tanda-tandanya sudah lengkap. Memang wajar, sih, kalau px merasakan sakit yang super duper di ulu hatinya, kan kepala janin mendesak ke atas.

Akhirnya aku memutuskan untuk lapor ke bidan jaga, "Permisi, Bu, izin bertanya, apakah px di bed 10 itu px sungsang?"

"Oh, bukan, Dek. Itu PPROM. Kenapa, Dek?".

"Begini, Bu. Saya masih belajar pemeriksaan leopold, jadi belum paham bedanya kepala dan bokong saat perabaan. Tapi, setelah saya observasi DJJ, DJJ terdengar di bagian atas. Mohon bimbingannya, Bu. Apakah pemeriksaan saya sudah tepat atau belum. Px juga minta dilepas selang kateternya."

"Oh, iya, Dek. Lepas aja. Setelah itu saya ke sana."

Untungnya beliau mendengarkan aku dan segera menuju ke bed 10 sambil membawa alat USG. 

"Dek, tolong panggilkan Bu N di ruang tengah (semacam nurse station)! Kalau sudah, kembali lagi ke sini untuk ambil obat di apotek!"

"Siap!"

FYI, Bu N ini bidan senior yang sudah nge-pro. Melihat beliau menangani persalinan itu rasanya satisfying karena kesannya seperti srut, srut, srut, selesai. Setelah Bu N datang dan melakukan pemeriksaan termasuk VT, akhirnya kita semua tahu bahwa dx dari px ini adalah...

G2P1001Ab000 UK 37-38 minggu, T/H/I, letak sungsang, punggung kiri, KIFA dengan PPROM

Oh, bukan KIFA lagi. Tapi ∅ 10 cm.

No wonder. Pantas saja kencang-kencangnya sangat intens, sangat sakit.

Langsung saja, semuanya hectic. Aku ditugaskan ambil handschoen, partus set, lampu, obat-obatan termasuk oksitosin dan lidocaine. Aku juga sempat memasangkan celemek pada Bu N, sudah seperti memeluk saja 😭 Apa boleh buat? Kan, memang cuma tanganku yang bersih dari cairan tubuh px.

Dan wow, jadi begini penatalaksanaan persalinan sungsang? Persis seperti yang ada di laboratorium, ya? Bedanya hanya pxnya bisa menjerit kesakitan dan posisi janinnya bukan kita yang ngatur. Kalau ngatur sendiri, kan, kita bisa pilih posisi yang enak. 

Pertama, kita lakukan informed consent dulu. Sampaikan:
1. Hasil pemeriksaan: letak bokong.
2. Artinya: ibu harus berusaha lebih dalam meneran dan terdapat risiko yang lebih besar daripada persalinan dengan letak kepala, diantaranya kemungkinan besar untuk diepisiotomi dan bayi tidak langsung menangis (asfiksia).
Kenapa harus berusaha lebih? Karena yang keluar itu bagian terbesar janin yang bentuknya nggak compatible dengan jalan lahir, beda dengan kepala. Kasarannya seperti kita kalau pupitanya gede, mengejannya harus ekstra kuat. 
Dengan alasan yang sama, artinya jalan lahir harus dilebarkan juga. Dengan cara apa? Ya dengan cara digunting perineumnya, atau episiotomi. Kalau nggak diepis? Pasti besar risikonya untuk terjadi ruptur perineum yang tidak beraturan dan lebih susah dihecting.
Kenapa, kok, berisiko asfiksia? Karena tali pusat lahir terlebih dahulu daripada kepala, dan tali pusat juga terjepit dalam waktu yang lebih lama dibandingkan persalinan letak kepala. Belum lagi kalau nanti bahu susah dilahirkan.
3. Ditutup dengan kalimat penenang: tapi ibu jangan khawatir, kami akan berusaha menolong.

Kedua, posisi px dan penolong
1. Posisi px litotomi dengan bokong yang didekatkan dengan tepi bed.
2. Penolong waktu itu ada 3 termasuk aku. Bu N bertugas membantu persalinan, Bu I bertugas membantu melakukan kristeller, aku membantu menarik kaki px hingga menyentuh dada.

Ketiga, persiapan pertolongan persalinan
1. Membimbing px untuk meneran pada saat kontraksi.
2. Meletakkan handuk bersih di perut px.
3. Setelah bokong terlihat 5-6 cm, meletakkan kain bersih di bokong px.
4. Membuka tutup partus set dan mengecek lagi kelengkapan alat termasuk memasukkan oksitosin dan lidocaine ke dalam spuit.
5. Memakai sarung tangan DTT pada kedua tangan. Kenapa DTT? Karena nanti jari penolong akan masuk ke vagina untuk mengeluarkan tangan bayi. Untuk PPI lah. 

Keempat, puncaknya, yaitu pertolongan persalinan. Eh, tapi sudah panjang dan capek banget ini ngetiknya, lochhh. Mau lanjut prat 2, nggak? Kalo kalian mau, kasih tau aku, yaa. Kata Farah, "Ketik 1 untuk lanjut part 2!" Hahaha

Segini dulu, adíos!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Stages of Grief

Aku Takut Salah