Perempuan Harus Mandiri
Terlahir sebagai perempuan itu banyak tantangannya. Sejak lahir, kita sudah dijejali doktrin bahwa perempuan harus seperti ini dan itu. Sebagai perempuan, aku dan kamu (sesama perempuan) sudah terlatih untuk memenuhi ekspektasi banyak orang dan nyatanya hari ini kita sudah berhasil. So, let me tell you, being a woman is a superpower.
You are beautiful, you are smart, you are wise. Hats off, girls!
Tapi ternyata, ada yang jauh lebih penting dari itu semua, yaitu perasaan puas terhadap diri sendiri yang datang dari diri sendiri. Coba kamu renungi, kapan terakhir kali kamu melakukan sesuatu atas kemauanmu sendiri? Yang tanpa kamu berpikir, bagaimana 'orang lain' akan berpendapat akan hal itu?
Kapan terakhir kali, kamu merasa sangat bangga terhadap dirimu ketika kamu berhasil mencapai sesuatu?
Aku rasa, kita hari ini terlalu jauh dari diri sendiri. Sebagai perempuan, aku paham, pasti sulit bagimu untuk tidak menjadi penjaga bagi orang lain di sekitar. Tapi, kamu pun sebenarnya bisa menyenangkan orang lain di sekitarmu tanpa harus mengorbankan jati dirimu. Itu namanya bukan egois because self love isn't selfish, gurls.
Kamu punya suara, perasaanmu itu valid, and the silent battle you are facing are now must be spoken. Be so damn loud, girls!
Lelah itu bukan aib, manusia memang perlu istirahat.
Salah itu bukan berarti kamu gagal, memangnya siapa yang tidak pernah salah?
Nyeri menstruasi itu bukan lemah, namanya dinding rahim meluruh itu, ya, memang sakit.
Mood swing itu hal wajar, namanya dalam siklus menstruasi itu ada naik turunnya hormon.
Perut buncit itu nggak jelek, orang kurus pun juga punya timbunan lemak.
Badan melebar setelah melahirkan itu normal, yang ngatain aja yang nggak pernah belajar.
I know, we are living in the world full of hatred towards women. Yang kadang, lucunya, judgement itu datang dari golongan kita sendiri (perempuan). Lalu bagaimana caranya kita bisa terbebas dari belenggu stigma perempuan sempurna? Saranku, you have to start to listen to yourself.
Di hiruk pikuknya dunia, kita perlu melambat sejenak sambil berpikir, "Sebenarnya, apa, sih, yang aku kejar? Apa, sih, yang aku inginkan? Apa, sih, yang aku butuhkan?" Find that spark! Tentukan dari sekarang, supaya kamu punya semangat juang dan nggak hanya hidup dengan sebatas menjalankan peran sebagai perempuan yang sudah dipilihkan oleh orang-orang.
Aku jadi teringat mosi debat tahun 2020 silam tentang ibu berkarir vs ibu rumah tangga.
Aku pun menyadari bagaimana mosi itu bisa terlahir, adalah dari cara masyarakat memandang kita, "Perempuan punya beban domestik yang lebih besar daripada laki-laki". Perempuan dianggap bertanggung jawab dalam merawat dan membesarkan anak, merawat rumah, dan merawat suami. Sehingga ketika perempuan memilih untuk berkarir di luar rumah, maka ia akan memiliki beban ganda sehingga dikhawatirkan bisa terbengkalai salah satunya.
Aku tertegun dengan bagaimana all bench (termasuk aku) memposisikan anak dan keluarga sebagai aktor utama. Padahal seharusnya, perempuan adalah fokus utama dalam mosi ini. Yang menjalani itu semua adalah perempuan, sedangkan suami dan anak-anak hanyalah orang-orang yang terdampak. Tapi, it's better late than never, kan?
Aku baru menyadari kalau seharusnya aku berpihak pada perempuan sejak dalam pikiran setelah aku berada dalam posisi itu. Sekarang aku sudah hampir menyelesaikan studi profesi. Beberapa bulan lagi, aku akan punya setidaknya 3 pilihan terbuka, yaitu: menikah; bekerja; dan melanjutkan sekolah.
Sekarang ku pikir, "untuk apa aku harus memilih jika aku bisa melakukan semuanya?" Toh, asalkan kita mau, kita akan selalu menemukan jalannya. Buktinya, kemarin dosenku yang punya anak 3 juga sudah lulus s3!
Keluarga itu adalah tanggung jawab semua anggota. Bapak, Ibu, anak, masing-masing punya kewajiban dan peran masing-masing dalam keluarga yang nggak harus sesuai dengan persepsi "orang-orang" kebanyakan. Tinggal bagaimana kita mengatur "perusahaan kecil" kita agar tetap menyala saat ibu bekerja. Untuk itu, aku titip pesan juga buat para laki-laki, tolong biarkan perempuan menikmati haknya menjadi seseorang yang "full" dengan memberinya kesempatan, saling bahu membahu. Karena aktualisasi diri juga merupakan kebutuhan dasar manusia.
Untuk pemerintah dan masyarakat, juga harus memberikan fasilitas pada perempuan supaya perempuan tidak harus memilih lagi. Normalisasi izin kerja sebulan sekali saat menstruasi, berikan cuti hamil dan melahirkan untuk mengembalikan fungsi tubuh sekaligus menikmati hari-hari pertama kelahiran anak setidaknya 40 hari setelah melahirkan, sediakan ruang laktasi agar ibu yang bekerja tetap bisa menyusui, perbanyak tempat-tempat penitipan anak, berikan hari libur setidaknya satu kali dalam seminggu bagi Ibu Rumah Tangga untuk self reward, dan masih banyak yang perlu dibenahi dewasa ini.
Lagi pula, bukankah semua pihak bisa mendapat keuntungan apabila kita memberikan kesempatan bagi perempuan?
Anak akan mendapatkan contoh yang baik, suami akan mendapatkan peran yang setara dalam keluarga dan posisi yang sama dengan ibu di hati anak-anaknya, keluarga akan mendapatkan sumber penghasilan ganda. Bukankah ini menguntungkan bagi semuanya?
Kamu tahu, mengapa aku sangat lantang menyuarakan ini? Karena pada akhirnya, yang kita miliki hanyalah diri kita sendiri. Kalau kata Nosstress, "karena semua yang kau cinta akan pergi". Ini benar adanya, orang yang saat ini kita cintai dan mungkin kita menggantungkan hidup padanya (re: suami) bisa pergi ke pangkuan Illahi atau ke pangkuan perempuan lain. Anak-anak pun suatu saat juga pasti ingin membangun keluarga sendiri. Jadi, kesimpulannya adalah: perempuan harus mandiri.
Komentar
Posting Komentar