My Concern About Midwifery in Indonesia

Judul dari artikel kali ini aku dapatkan di tengah malam, ketika kekhawatiranku terhadap hidupku, masa depanku, dan keluargaku tiba-tiba aja datang. Efeknya seperti espresso double shot di malam hari. Iya, membuat aku susah tidur. 

Aku sadari bahwa semua kekhawatiran itu berkaitan erat dengan statusku yang sekarang sebagai mahasiswa kebidanan, the life path that I have chosen before. No one tell me that it's gonna lead me to this kinda situation. Sekarang aku merasa hampa, pasrah, dan bingung. 

Akhirnya aku memutuskan untuk menulis artikel ini karena aku yakin bahwa aku bukan satu-satunya yang merasa demikian. Artikel ini akan sangat berbeda dengan artikel lain yang pernah aku tulis sebelumnya karena topik ini sangat personal bagi aku. That's why aku nggak akan memaksa semua orang untuk menyetujui apa yang aku tulis di artikel ini, because it's personal. Misalkan nanti kalian merasa "ah nggak gitu, kok. Ah masa gitu? Kamu kok berpikiran seperti itu?", gapapa. Sangat dimaklumi.

Kita tarik napas dulu, yok! Sudah? Oke!

Sekarang aku berstatus mahasiswa semester 8 prodi Sarjana Terapan Kebidanan. Iya, sudah hampir 4 tahun kuliahnya, sudah hampir 4 tahun juga aku mencoba mencintai pilihan ini. Ternyata semakin lama, semakin tahu, dan semakin nggak mau, hahaha. Kamu gitu juga, nggak? Kalo iya, sini aku puk puk online!

Pada umumnya, aku nggak bisa mencintai sesuatu dengan apa adanya. Kalau kata Tulus, kita harus menuntut sesuatu biar kita jalan ke depan. Jadi, artikel ini akan berisi tentang "kalau profesi bidan seperti ini, aku baru mau" tapi karena kata-katanya nggak enak didengar/dibaca, jadi lah artikel ini aku beri judul "My Concern About Midwifery in Indonesia" atau kekhawatiranku tentang kebidanan di Indonesia. Kita langsung masuk ke pambahasannya, ya!

Artikel ini berisi 3 tuntutan terhadap masyarakat, stake holder, mahasiswa kebidanan, dan bidan itu sendiri.

1. Jangan melabeli bidan sebagai profesi yang mulia apalagi yang berbasis pengabdian
Menurutku, semua pekerjaan adalah bentuk pengabdian seseorang kepada masyarakat melalui bidang yang dikuasainya dan sesuai dengan kemampuannya. Bidan tidak lebih mulia dari kontraktor yang membangun jembatan untuk kita mendistribusikan obat dan mempermudah transportasi dalam proses rujukan, ataupun pengembang website yang membuat rekam medis pasien terkelola dengan baik, dan masih banyak yang lainnya. Jadi, dari perspektif ini, tidak ada pembeda antara profesi bidan dengan pekerjaan lain. Semuanya sama-sama mulia, asalkan pekerjaannya bukan maling uang rakyat, ya. Eh, sebentar, ada tukang bakso.

Aku mau beli, maksudnya. Hahaha. Oke, lanjut.

"Ah, kita loh tetap terjaga di malam hari ketika orang lain pada tidur, so far so on". That's not the point, baby. Kalau kemuliaan pada suatu pekerjaan itu terletak pada begadang atau tidaknya ya budak korporat juga demikian. Nggak ada bedanya. Sekali lagi, semua pekerjaan itu mulia dari perspektif mana pun. 

"Tapi, kan, kita mengurusi orang lain ketika mereka perlu ini dan itu". Kalau konsepnya kaya gitu, menurutku abang-abang go food yang bawain makananmu di bawah terik matahari dan hujan badai hanya agar kamu nggak kelaparan itu deserve more credits

Terus kamu maunya gimana, Nad? 

Mungkin tidak pantas terdengar dari seorang mahasiswa kebidanan, tapi aku bakal tetap mengatakannya. Aku ingin kerja untuk mendapatkan uang. Bukan untuk menyejahterakan orang lain, bukan untuk menyelamatkan orang lain, tapi menyejahterakan dan menyelamatkan diriku dan keluargaku sendiri.

Ini lah bahaya dari labeling suatu pekerjaan sebagai pekerjaan yang mulia. Apalagi karena titelnya pengabdian, sah-sah aja bagi bidan untuk mendapatkan gaji yang nggak seberapa. Kan, harus ikhlas? Begitu, kan? 

Terus ketika aku cerita ke orang-orang, bahkan sesama mahasiswa kesehatan, mereka bilang, "kalau mau gajinya banyak jangan jadi bidan, mending jadi pengusaha aja". Kalo gitu caranya, lama-lama habis juga tuh. Pada nggak mau jadi bidan akhirnya.

Atau yang paling ekstrim, "cari suami yang kaya raya". Dengernya itu sedih, tapi aku ketawain aja kepolosan dia. Mungkin cuma bercanda.

Lagian yang pengen bergelimangan harta itu siapa, sih? Kalau aku pribadi, aku cuma ingin menghidupi diriku sendiri tanpa perlu merepotkan orang lain lagi. Minimal aku dan keluarga kecilku nanti, deh. 

Coba lihat,
Tau, nggak, gaji pokok bidan yang kerja di TPMB itu kisarannya 400-700k aja per bulannya dengan 6 hari kerja per minggu dan shift yang awut-awutan dan mengerjakan pekerjaan di luar kompetensi sebagai bidan. Kalo tempatnya rame, baru dapat fee untuk tindakan lainnya misalnya fee partus, fee pijat anak, dll. Dengarnya langsung lemas, say! Jangankan kepikiran mau ngasih orang rumah, mikirin diri sendiri aja pusing. Kayanya itu gaji nggak bisa dibuat survive lebih dari setengah bulan, deh.

Aku benar-benar ingin masyarakat Indonesia bisa menormalisasi "bekerja adalah untuk mendapat uang". Proporsi gaji disesuaikan dengan apa yang kita korbankan, misalnya pendidikan, waktu, risiko, beban pekerjaan, dll. At least kalau waktuku sudah dihabiskan buat bekerja, aku mau dapat uang untuk menyekolahkan anakku di kelompok bermain misalkan karena aku nggak punya waktu untuk menstimulasi dia. 

For your information, aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Babaku (re: bapak) meninggal sejak September 2022 lalu. Mamak (re: ibu) adalah seorang guru TK honorer yang gajinya juga sama menyedihkannya dengan gaji bidan. Tidak ada yang memintaku untuk berkorban, tapi aku rasa aku harus. Iya, aku sedang berada dalam mode defensive. Gitu kok masih dibayar underpaid, tega bener sama anak yatim wkwkwk. Bercanda yaa.

Berdasarkan perhitungan matematika, gaji segitu nggak bakalan cukup :( 
Kalau orang bilang, hitungannya Allah terhadap rezeki itu berbeda dengan hitungan matematisnya manusia, aku percaya. Aku berhusnudzon, sih, tapi perasaan khawatir itu tetap ada dan aku gak bisa membohongi perasaanku sendiri.

Aku sempat mempresentasikan topik ini sebagai bahan diskusi untuk kelas mata kuliah bahasa Inggris. Aku dapat pertanyaan seperti ini dari dosen pengampu, "How much do you think that is considered as decent salary for midwife?" 

I replied, "That's depends on a lot of things, actually. But I'll gonna go with Rp5.000.000, only a quarter of midwives salary in Saudi Arabian Hospital flyer that I just saw yesterday for our 0 mistakes allowed".

Memang, di awal karir itu nggak bakalan ada yang langsung wah, selaras sama pengalaman dan keahlian yang kita punya. Jadi jenjang karirnya pun harus bertahap. Sebelum kerja cerdas dengan effort yang minimum tapi dapat keuntungan yang banyak, kita perlu kerja keras dulu untuk menemukan celahnya.

Terlepas dari semua keluh kesahku tadi, seseorang pernah bilang, "orang yang bijak itu tidak akan menyalahkan keadaan". Ya memang, nanti kalau kita terus-terusan menyalahkan keadaan, kita nggak berkembang karena nggak ada ruang untuk improvisasi apa yang kurang dari diri kita, karena ketutupan sama salahnya keadaan.

Oke, keadaannya sekarang memang demikian, tapi mari berjanji kalau kita tidak akan berhenti mencari cara lain supaya kita bisa berkembang di segala kondisi. Mana tahu, 20 tahun kemudian, salah satu pembaca blog ini jadi menteri kesehatan, kan? Nanti kita ubah keadaannya bersama-sama. 

Kalau kata Mamakku, meskipun di dalam got sekalipun, berlian tetap berlian. Nanti kalau aku sudah tahu cara agar bisa lebih dari sekedar bertahan di kondisi yang seperi ini, aku bakal kembali ke artikel ini dan kirim tautannya yaa! Makanya, doakan aku sukses, dong! Hahahaaa. 

Oke, kembali ke laptop!
2. Kualitas SDM Bidan bisa meningkat
Bahaya yang kedua dari labeling suatu pekerjaan sebagai pekerjaan yang mulia adalah pride atau kebanggaan. Menurutku, kebanggaan memang efek samping dari bekerja. Misalnya kita dapat duit dari keringat sendiri, itu bangga. Kita bisa beliin Mamak kita baju, itu bangga. 

Tapi, kalau dapat titel mulia, kebanggaannya jadi dobel dobel karena pasti dipuja-puja oleh orang lain. Memang nggak semua orang seperti itu, tapi akan selalu ada orang yang ingin mendapatkan pekerjaan tersebut karena hanya ingin pride-nya aja karena menurut mereka, mereka pasti dipandang terhormat oleh masyarakat. Jatuhnya jadi overpride dan biasanya, kebanggaan itu ditampilkan melalui sesuatu yang kemudian dinilai cringe oleh masyarakat, alias dengan cara yang norak. Nggak cuma bidan/mahasiswa kebidanan aja, tapi juga (nggak usah disebutin, kalian sudah pada tahu, kok). Contohnya bisa dilihat di artikel yang ini, ya.

Akhirnya, kompetensi yang harusnya jadi fokus utama seorang bidan itu kalah hypenya dalam diri seseorang dengan kebutuhan untuk terus ngonten agar dapat pengakuan. Karena yang benar-benar belajar itu nggak bakalan sempat sempatnya bikin konsep, take, dan ngedit video yang nggak jelas. Ini tentang konsep prioritas. Kalau belajar terus, nggak ada waktu untuk bikin begituan. Kalau bikin begituan juga akhirnya waktu untuk belajarnya tersita. 

Lagi pula, bidan yang cerdas juga pasti ingin dikenal sebagai orang yang cerdas dan itu terpancar dari konten seperti apa yang ia sajikan. 

Nah, selaras dengan tuntutan saya terhadap gaji yang saya minta, (eh, kok saya? Aku!) aku juga berharap kualitas SDM Bidan juga bisa meningkat dari segala aspek. Kalau kualitas SDM Bidan bagus, nah, baru aku bisa bangga berkoar-koar yang ndakik-ndakik karena yang aku belain ada isinya, nih. 

Dulu aku pernah bertengkar di salah satu postingan akun memecomic kampusku. Konteksnya, mereka upload barisan isilop yang lagi nyanyi terpesona itu sambil atraksi, captionnya "mahasiswa kebidanan kejang-kejang melihat ini". Salahku, sih, ngeladenin postingan nggak guna itu. Aku belain "nggak semua mahasiswa kebidanan kaya gitu lalalalaa". Eh ternyata hari ini aku lihat tiktok adik tingkat yang terlihat banget kalau ngincar isilop. Dia pake seragam kampus pulak. Sedihnyaaa :(

Kan percuma kalau kita menuntut gaji yang besar tapi kita sendiri ngang ngong ngang ngong. Memaksa seseorang menggaji kita lebih layak itu sah-sah aja, asalkan memang ada kualitas yang ditawarkan. Jadi jatuhnya nggak kaya investasi bodong. 

Definisi bidan yang baik menurut perspektifku kurang lebih mengamini apa yang ada di artikel ini, sih. Nanti kalian baca, ya!

3. Tidak ada senioritas
No explanation needed. 

Terima kasih atas perhatiannya, terutama terima kasih sudah membaca keresahan ini. I love you all! Semoga kita bisa jadi lebih baik terus kedepannya. 

Suatu saat, aku janji aku akan mentackle kekhawatiranku sendiri dengan artikel lain yang mungkin akan membahas tentang "nggak kok, lulusan kebidanan juga bisa dapat penghasilan yang layak, kalau..." 

See you kapan-kapaaan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesunyian Sejenak Bukan Berarti Diam—Kadang, Itu Tanda Badai Besar Akan Datang

Aku Takut Salah

Nggak Semua Perempuan Itu Cantik dan Jadi Perempuan Itu Nggak Harus Cantik